Selasa, 21 Februari 2012

ERA PEMILUKADA-L : PROMOSI JABATAN BIROKRASI SEPERTI MAIN ULAR TANGGA


Bagi yang pernah main ular tangga  dimasa kecilnya sudah tidak asing lagi dengan permainan tersebut lebih ditentukan oleh faktor keberuntungan dan tidak membutuhkan keterampilan khusus seperti main catur. Begitu  dadunya  dilempar kemudiian secara kebetulan dapat  langkah ketangga   atas maka posisinya langsung melejit ke level tangga atas. Dan bila nasib  tidak beruntung dapat langkah dikotak ular  maka posisinya langsung  turun drastis dari posisi paling atas dan melorot  keposisi paling bawah.Bagi sipemain  hal tersebut sudah biasa bahkan jadi  bahan tertawa tidak jadi beban mental, tidak akan membuat orang stres,dan menanggung malu dengan orang-orang sekitar,anak-anak serta sanak keluarga,karena orang sadar betul itu hanya sebuah permainan yang lebih ditentukan oleh faktor keberuntungan  dan tidak menuntut keahlian khusus. Makanya jarang kita mendengar  predikat juara main ular tangga tingkat Kabupaten/kota dan sebagainya.
Bila sistem permainan ular tangga ini  terjadi dalam promosi jabatan birokrasi pemerintahan  barulah menjadi masalah bagi seorang birokrasi atau PNS. Bayangkan seseorang  yang menjabat sebagai Kepala Dinas/Badan  Kabupaten/Kota lalu karena   berseberangan politik dengan Gubernur,Bupati/Walikota terpilih  pada PILKADA   langsung  alamatlah akan menerima sanksi  ganda,sudahlah  non job kemudian menjadi staf  pula di kantor  dimana dia sebelumnya menjadi pimpinan disana,”alamak sakitnyanya”.Ada juga di non job kan kemudian ditempatkan “dibuang” pada Kecamatan yang jauh dari Ibukota Kabupaten.Namun bagi PNS yang kebetulan mendukung Bupati  terpilih, atau mungkin keluarga dekat “ring satu” maka alamatlah jabatannya langsung melejit dan bila persyaratan  kepangkatan belum terpenuhi itu masalah belakang toh juga ada baperjakat (Badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan) yang di Kab/Kota sebagai  badan resmi untuk melegalkan keinginan Kepala daerah terpilih serta masukan dari  tim suksesnya seperti dengan cara  di PLT kan terlebih dahulu  setelah pangkatnya cukup barulah dilantik kembali secara defenitif. Dan bila dosanya tergolong  kecil   maka dimutasikan  tetap pada eselon yang sama  dari jabatan  “yang bermata air” ke jabatan yang “berair mata” alias tempat kering.Hal tersebut  menjadi fenomena  pada beberapa Kabupaten di Riau sebagai  sebuah  kenistaan    dalam proses pemilihan umum Kepala Daerah(Pemilukada) secara langsung.
             Fenomena  tersebut   nyaris tidak pernah terjadi ada era   pemerintahan sebelumnya  seperti di era orde baru  kendatipun dicap sebagai pemerintahan : sentralistis, militerlistik bahkan Gubernur, Bupati nya bukan PAD (putra asli daerah).Birokrasi atau PNS  adalah  manusia biasa yang memiliki rasa malu terhadap bawahan dikantor yang selama ini ia bina lalu sama-sama menjadi staf,selain beban mental yang ditanggung bersangkutan tambah lagi  betapa  tergoresnya  perasaan anak istrinya.Fenomena  promosi jabatan birokrasi  dengan sistem  main ‘ular tangga” di era pemilihan Gubernur,Bupati/Walikota secara langsung saat ini  kiranya dapat dieliminir,dengan cara adanya peningkatan pengawasan  dari pemerintah pusat   terhadap sistem promosi jabatan birokrasi atau PNS di daerah jika perlu dibentuk kantor perwakilan kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi dicmasing-masing Propinsi. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 53 Tahun 2010 Tentang Displin PNS  pada  pasal  4   angka (15) menegaskan bahwa PNS dilarang  memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara : terlibat dalam kegiatan kampanye, menggunakan fasilitas jabatan dalam kegiatan kampanye, membuat keputusan/tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pansangan calon Kepala Daerah dan mengadakan kegiatan yang berpihakan terhadap salah satu pasangan calon.Gejala yang terjadi di Era PILKADA langsung saat ini  PP 53 Tahun 2010  tersebut diselewengkan penerapannya  oleh Kepala Daerah terpilih  beserta timnya untuk  menjegal  karir  atau career  killing (pembunuhan karir) PNS  yang dianggap berseberangan politik  dengan dirinya.Ironisnya perlakuan terhadap PNS yang jelas-jelas terlibat politik praktis pendukung pasangan Pilkada terpilih  tidak dianggap melanggar PP 53 Tahun 2010 tersebut bahkan menjadi orang pertama yang dipromosikan menduduki jabatan strategis bahkan dinaikkan eselonnya.
             PILKADA- L (Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung)  menjadi dilema bagi birokrasi atau PNS, berdasarkan  informasi  dari rekan-rekan birokrasi  dari berbagai daerah di tanah air  mengemukakan hal yang sama  dimana birokrasi atau PNS dihadapkan  dua pilihan pahit yakni  ikut keberpihakan kepada salah satu pasangan calon atau bersikap netral. Bagi PNS  yang menempati jabatan strategis  seperti : Kepala Dinas/Badan, Kabag di Sekretariat  sudah pasti merupakan orang-orang dekat  Incumbent (Kepala Daerah yang menjabat)  tiada pilihan lain selain berjibaku untuk terlibat politik praktis dalam pemenangan incumbent dengan “menghalalkan berbagai cara” sebagai bentuk balas budi  dan ungkapan terima kasih kepada orang yang dianggap berjasa telah memberikan jabatan empuk kepada dirinya.Dan bagi birokrasi atau PNS yang diberi jabatan empuk lalu  dianggap tidak mendukung Incumbent maka alamatlah akan menerima  konsekuensi dari tindakannya tersebut  bisa dalam bentuk non job atau bergeser ke posisi jabatan yang tidak strategis. Apabila dalam proses PILKADA tersebut dimenangkan oleh  Incumbent  maka birokrasi atau PNS yang telah berjibaku  sebagai tim pemenangan  akan lebih berjaya  tinggal memilih jabatan strategis mana yang diinginkan karirnya melejit seperti main ular tangga.Berbeda  nasib PNS atau birokrasi yang  berpihak kepada pasangan yang kalah  alamat lah  menerima “hadiah istimewa” yang menyakitkan  seperti main ular tangga  dari posisi atas dan strategis ke posisi bawah bertemankan meja.Dan  Bagi PNS atau birokrasi yang bersikap netral alias tidak terlibat politik praktis mendukung salah satu pasangan calon  Kepala daerah maka nasibnya  juga abu-abu  janganlah bermimpi untuk dipromosikan ke jabatan yang strategis,jabatan yang adapun sudah diklaping-klaping oleh orang-orang dekat kepala daerah terpilih.Jadi memang serba sulit nasib birokrasi di era PILKADA Langsung saat ini bila terlibat politik praktis  lalu kalah resikonya terlalu besar yang akan diterima. Bila PNS atau birokrasi bersikap netral malah dianggap abu-abu tidak punya prinsip.
             Untuk mengatasi dilema  PILKADA secara langsung tersebut bagi pejabat  yang “berduit”  memiliki jurus-jurus  maut  agar tetap bisa eksis dan bertahan pada jabatan-jabatan strategis siapapun pemenang PILKADA  dengan  istilah  “ memasang kaki” mirip berjudi  yakni dengan cara  terselubung menyumbang kepada masing-masing calon  Kepala Daerah yang bertarung,dengan porsi yang berbeda-beda,tentu porsi yang terbesar kepada pasangan incumbent.Sehingga siapapun  pasangan Bupati/Wakil Bupati terpilih yang bersangkutan telah memiliki akses untuk tetap bertahan pada jabatan yang didudukinya  atau bahkan mengincar jabatan yang lebih strategis.
             Bila pejabat yang berduit  bisa melakukan jurus-jurus maut “memasang kaki” kepada masing-masing pasangan calon kepala daerah yang bertarung sehingga siapapun pemenang PILKADA  dia tetap eksis  maka berbeda nasib  birokrasi atau PNS 

yang “dimarjinalkan” yang selamat ini juga tidak menempati posisi jabatan strategis seperti Sekretaris Badan/Dinas  tertentu, jangankan untuk ikut “memasang kaki”  sedangkan untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga saja  “ngos-ngosan”. Sehingga tidak memiliki akses terhadap  siapapun pasangan Kepala Daerah  terpilih, yang dekat semakin dekat dan yang jauh semakin jauh. Sebagaimana spirit otonomi daerah dan PILKADA langsung ini adalah untuk percepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kualitas dan  mendekatkan pelayanan publik kepada kepada masyarakat tidak akan terwujud tanpa didukung oleh  PNS atau birokrasi yang memiliki  kompetensi,kapabilitas dan loyalitas  terhadap jabatan yang diamanahkan.
             Gubernur,Bupati/Wakil Bupati selaku pejabat politis yang dipilih secara demokratis oleh rakyat memilki kewenangan untuk mengangkat siapa yang diinginkan,sebelum   mengangkat atau memutasi seseorang diharapkan berdasar pertimbangan  tertentu,karena loyalitas  dan  istiqomah sangat dibutuhkan pada setiap diri  yang diamanahkan untuk menjadi pimpinan.Barangkali strategi  Soeharto  Presiden RI  selama menjabat  Presiden RI  32 tahun  jarang kita mendengar  pembantunya-pembantunya yang tidak loyal  bahkan  tetap  menjalin silahturrahmi sampai beliau wafat.Berbeda dengan fenomena pejabat-pejabat saat ini terutama di daerah  begitu  Gubernur,Bupati/Walikota  tersandung kasus,dilengserkan atau berakhir masa jabatannya  maka saat itu juga pejabat yang dulunya dekat sekarang  menjauh bahkan  berjumpa pun takut.
             Sedangkan Loyalitas  bukan berarti persekongkolan tetapi   berupa kepatuhan seseorang birokrasi dengan segala kemampuan untuk mendukung tugas siapapun pimpinannya.Loyalitas birokrasi  saat ini tergadai, karena rekruitmen nya bukan berdasarkan seleksi  kemampuan  dan track record  tetapi lebih ditentukan “bisik-bisik” orang-orang dekat penguasa. Berdasarkan  pengamatan  bahwa  promosi jabatan birokrasi melalui  orang-orang tertentu atau kelompok tertentu dalam memilih dan merekruit  pembantunya maka PNS tersebut akan lebih loyal kepada orang atau partai politik yang mempromosikan dirinya daripada kepada kepala Daerah,Dan apabila terjadi konflik  antara Kepala Daerah dengan partai politik atau kelompok masyarakat  tertentu maka PNS atau birokrasi tersebut akan memihak kepada partai politik atau kelompok yang mempromorasikan dirinya dari pada memihak kepada Kepala Daerah,bahkan dirinya akan menjadi mata-mata kelompok yang berseberangan dengan Kepala daerah.

             Sebagai seorang Kepala Daerah yang dipilih secara demokratis oleh rakyat  dituntut agar lebih bijak dalam  proses  pengangkatan dan pencopotan seseorang PNS  agar penyelenggaraan pemerintahan daerah akan lebih menyentuh kepada kepentingan masyarakat secara keseluruhan.Pengangkatan seseorang dalam jabatan tertentu hendaknya berdasarkan kompentensi,kapabilitas dan loyalitas, sebagai pembantu Kepala Daerah dalam mewujudkan janji-janjinya  kepada rakyat saat kampanye yang dituangkan dalam bentuk Visi,Misi Daerah  selama priode kepemimpinan Kepala Daerah 5 (lima) tahunan.Bila dianalogkan pada sebuah perusahaan bila tidak dikelola oleh manajer profesional alamatlah perusahaan tersebut akan bangkrut,atau sebuah bis angkutan umum yang diawaki oleh sopir yang baru belajar  nyetir mobil   maka alamatlah bis tersebut masuk jurang.Bila perusahaan atau bis angkutan umum tersebut tidak dikelola oleh orang-orang yang punya kemampuan maka dampaknya langsung,sedangkan  bila Kepala daerah tidak didukung oleh pembantu-pembantunya yang memiliki kompetensi, kapabilitas dan loyalitas maka dampak kehancuran akan dirasakan oleh rakyat dalam jangka panjang.

Penulis : Alumnus Doktor  UNPAD,Pemerhati Masalah Pemerintahan Daerah,Dosen.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar