Bagi yang pernah main ular tangga dimasa kecilnya sudah tidak asing lagi dengan permainan tersebut lebih ditentukan oleh faktor keberuntungan dan tidak membutuhkan keterampilan khusus seperti main catur. Begitu dadunya dilempar kemudiian secara kebetulan dapat langkah ketangga atas maka posisinya langsung melejit ke level tangga atas. Dan bila nasib tidak beruntung dapat langkah dikotak ular maka posisinya langsung turun drastis dari posisi paling atas dan melorot keposisi paling bawah.Bagi sipemain hal tersebut sudah biasa bahkan jadi bahan tertawa tidak jadi beban mental, tidak akan membuat orang stres,dan menanggung malu dengan orang-orang sekitar,anak-anak serta sanak keluarga,karena orang sadar betul itu hanya sebuah permainan yang lebih ditentukan oleh faktor keberuntungan dan tidak menuntut keahlian khusus. Makanya jarang kita mendengar predikat juara main ular tangga tingkat Kabupaten/kota dan sebagainya.
Bila sistem permainan ular tangga ini terjadi dalam promosi jabatan birokrasi pemerintahan barulah menjadi masalah bagi seorang birokrasi atau PNS. Bayangkan seseorang yang menjabat sebagai Kepala Dinas/Badan Kabupaten/Kota lalu karena berseberangan politik dengan Gubernur,Bupati/Walikota terpilih pada PILKADA langsung alamatlah akan menerima sanksi ganda,sudahlah non job kemudian menjadi staf pula di kantor dimana dia sebelumnya menjadi pimpinan disana,”alamak sakitnyanya”.Ada juga di non job kan kemudian ditempatkan “dibuang” pada Kecamatan yang jauh dari Ibukota Kabupaten.Namun bagi PNS yang kebetulan mendukung Bupati terpilih, atau mungkin keluarga dekat “ring satu” maka alamatlah jabatannya langsung melejit dan bila persyaratan kepangkatan belum terpenuhi itu masalah belakang toh juga ada baperjakat (Badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan) yang di Kab/Kota sebagai badan resmi untuk melegalkan keinginan Kepala daerah terpilih serta masukan dari tim suksesnya seperti dengan cara di PLT kan terlebih dahulu setelah pangkatnya cukup barulah dilantik kembali secara defenitif. Dan bila dosanya tergolong kecil maka dimutasikan tetap pada eselon yang sama dari jabatan “yang bermata air” ke jabatan yang “berair mata” alias tempat kering.Hal tersebut menjadi fenomena pada beberapa Kabupaten di Riau sebagai sebuah kenistaan dalam proses pemilihan umum Kepala Daerah(Pemilukada) secara langsung.
Fenomena tersebut nyaris tidak pernah terjadi ada era pemerintahan sebelumnya seperti di era orde baru kendatipun dicap sebagai pemerintahan : sentralistis, militerlistik bahkan Gubernur, Bupati nya bukan PAD (putra asli daerah).Birokrasi atau PNS adalah manusia biasa yang memiliki rasa malu terhadap bawahan dikantor yang selama ini ia bina lalu sama-sama menjadi staf,selain beban mental yang ditanggung bersangkutan tambah lagi betapa tergoresnya perasaan anak istrinya.Fenomena promosi jabatan birokrasi dengan sistem main ‘ular tangga” di era pemilihan Gubernur,Bupati/Walikota secara langsung saat ini kiranya dapat dieliminir,dengan cara adanya peningkatan pengawasan dari pemerintah pusat terhadap sistem promosi jabatan birokrasi atau PNS di daerah jika perlu dibentuk kantor perwakilan kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi dicmasing-masing Propinsi. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 53 Tahun 2010 Tentang Displin PNS pada pasal 4 angka (15) menegaskan bahwa PNS dilarang memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara : terlibat dalam kegiatan kampanye, menggunakan fasilitas jabatan dalam kegiatan kampanye, membuat keputusan/tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pansangan calon Kepala Daerah dan mengadakan kegiatan yang berpihakan terhadap salah satu pasangan calon.Gejala yang terjadi di Era PILKADA langsung saat ini PP 53 Tahun 2010 tersebut diselewengkan penerapannya oleh Kepala Daerah terpilih beserta timnya untuk menjegal karir atau career killing (pembunuhan karir) PNS yang dianggap berseberangan politik dengan dirinya.Ironisnya perlakuan terhadap PNS yang jelas-jelas terlibat politik praktis pendukung pasangan Pilkada terpilih tidak dianggap melanggar PP 53 Tahun 2010 tersebut bahkan menjadi orang pertama yang dipromosikan menduduki jabatan strategis bahkan dinaikkan eselonnya.
PILKADA- L (Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung) menjadi dilema bagi birokrasi atau PNS, berdasarkan informasi dari rekan-rekan birokrasi dari berbagai daerah di tanah air mengemukakan hal yang sama dimana birokrasi atau PNS dihadapkan dua pilihan pahit yakni ikut keberpihakan kepada salah satu pasangan calon atau bersikap netral. Bagi PNS yang menempati jabatan strategis seperti : Kepala Dinas/Badan, Kabag di Sekretariat sudah pasti merupakan orang-orang dekat Incumbent (Kepala Daerah yang menjabat) tiada pilihan lain selain berjibaku untuk terlibat politik praktis dalam pemenangan incumbent dengan “menghalalkan berbagai cara” sebagai bentuk balas budi dan ungkapan terima kasih kepada orang yang dianggap berjasa telah memberikan jabatan empuk kepada dirinya.Dan bagi birokrasi atau PNS yang diberi jabatan empuk lalu dianggap tidak mendukung Incumbent maka alamatlah akan menerima konsekuensi dari tindakannya tersebut bisa dalam bentuk non job atau bergeser ke posisi jabatan yang tidak strategis. Apabila dalam proses PILKADA tersebut dimenangkan oleh Incumbent maka birokrasi atau PNS yang telah berjibaku sebagai tim pemenangan akan lebih berjaya tinggal memilih jabatan strategis mana yang diinginkan karirnya melejit seperti main ular tangga.Berbeda nasib PNS atau birokrasi yang berpihak kepada pasangan yang kalah alamat lah menerima “hadiah istimewa” yang menyakitkan seperti main ular tangga dari posisi atas dan strategis ke posisi bawah bertemankan meja.Dan Bagi PNS atau birokrasi yang bersikap netral alias tidak terlibat politik praktis mendukung salah satu pasangan calon Kepala daerah maka nasibnya juga abu-abu janganlah bermimpi untuk dipromosikan ke jabatan yang strategis,jabatan yang adapun sudah diklaping-klaping oleh orang-orang dekat kepala daerah terpilih.Jadi memang serba sulit nasib birokrasi di era PILKADA Langsung saat ini bila terlibat politik praktis lalu kalah resikonya terlalu besar yang akan diterima. Bila PNS atau birokrasi bersikap netral malah dianggap abu-abu tidak punya prinsip.
Untuk mengatasi dilema PILKADA secara langsung tersebut bagi pejabat yang “berduit” memiliki jurus-jurus maut agar tetap bisa eksis dan bertahan pada jabatan-jabatan strategis siapapun pemenang PILKADA dengan istilah “ memasang kaki” mirip berjudi yakni dengan cara terselubung menyumbang kepada masing-masing calon Kepala Daerah yang bertarung,dengan porsi yang berbeda-beda,tentu porsi yang terbesar kepada pasangan incumbent.Sehingga siapapun pasangan Bupati/Wakil Bupati terpilih yang bersangkutan telah memiliki akses untuk tetap bertahan pada jabatan yang didudukinya atau bahkan mengincar jabatan yang lebih strategis.
Bila pejabat yang berduit bisa melakukan jurus-jurus maut “memasang kaki” kepada masing-masing pasangan calon kepala daerah yang bertarung sehingga siapapun pemenang PILKADA dia tetap eksis maka berbeda nasib birokrasi atau PNS
yang “dimarjinalkan” yang selamat ini juga tidak menempati posisi jabatan strategis seperti Sekretaris Badan/Dinas tertentu, jangankan untuk ikut “memasang kaki” sedangkan untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga saja “ngos-ngosan”. Sehingga tidak memiliki akses terhadap siapapun pasangan Kepala Daerah terpilih, yang dekat semakin dekat dan yang jauh semakin jauh. Sebagaimana spirit otonomi daerah dan PILKADA langsung ini adalah untuk percepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kualitas dan mendekatkan pelayanan publik kepada kepada masyarakat tidak akan terwujud tanpa didukung oleh PNS atau birokrasi yang memiliki kompetensi,kapabilitas dan loyalitas terhadap jabatan yang diamanahkan.
Gubernur,Bupati/Wakil Bupati selaku pejabat politis yang dipilih secara demokratis oleh rakyat memilki kewenangan untuk mengangkat siapa yang diinginkan,sebelum mengangkat atau memutasi seseorang diharapkan berdasar pertimbangan tertentu,karena loyalitas dan istiqomah sangat dibutuhkan pada setiap diri yang diamanahkan untuk menjadi pimpinan.Barangkali strategi Soeharto Presiden RI selama menjabat Presiden RI 32 tahun jarang kita mendengar pembantunya-pembantunya yang tidak loyal bahkan tetap menjalin silahturrahmi sampai beliau wafat.Berbeda dengan fenomena pejabat-pejabat saat ini terutama di daerah begitu Gubernur,Bupati/Walikota tersandung kasus,dilengserkan atau berakhir masa jabatannya maka saat itu juga pejabat yang dulunya dekat sekarang menjauh bahkan berjumpa pun takut.
Sedangkan Loyalitas bukan berarti persekongkolan tetapi berupa kepatuhan seseorang birokrasi dengan segala kemampuan untuk mendukung tugas siapapun pimpinannya.Loyalitas birokrasi saat ini tergadai, karena rekruitmen nya bukan berdasarkan seleksi kemampuan dan track record tetapi lebih ditentukan “bisik-bisik” orang-orang dekat penguasa. Berdasarkan pengamatan bahwa promosi jabatan birokrasi melalui orang-orang tertentu atau kelompok tertentu dalam memilih dan merekruit pembantunya maka PNS tersebut akan lebih loyal kepada orang atau partai politik yang mempromosikan dirinya daripada kepada kepala Daerah,Dan apabila terjadi konflik antara Kepala Daerah dengan partai politik atau kelompok masyarakat tertentu maka PNS atau birokrasi tersebut akan memihak kepada partai politik atau kelompok yang mempromorasikan dirinya dari pada memihak kepada Kepala Daerah,bahkan dirinya akan menjadi mata-mata kelompok yang berseberangan dengan Kepala daerah.
Sebagai seorang Kepala Daerah yang dipilih secara demokratis oleh rakyat dituntut agar lebih bijak dalam proses pengangkatan dan pencopotan seseorang PNS agar penyelenggaraan pemerintahan daerah akan lebih menyentuh kepada kepentingan masyarakat secara keseluruhan.Pengangkatan seseorang dalam jabatan tertentu hendaknya berdasarkan kompentensi,kapabilitas dan loyalitas, sebagai pembantu Kepala Daerah dalam mewujudkan janji-janjinya kepada rakyat saat kampanye yang dituangkan dalam bentuk Visi,Misi Daerah selama priode kepemimpinan Kepala Daerah 5 (lima) tahunan.Bila dianalogkan pada sebuah perusahaan bila tidak dikelola oleh manajer profesional alamatlah perusahaan tersebut akan bangkrut,atau sebuah bis angkutan umum yang diawaki oleh sopir yang baru belajar nyetir mobil maka alamatlah bis tersebut masuk jurang.Bila perusahaan atau bis angkutan umum tersebut tidak dikelola oleh orang-orang yang punya kemampuan maka dampaknya langsung,sedangkan bila Kepala daerah tidak didukung oleh pembantu-pembantunya yang memiliki kompetensi, kapabilitas dan loyalitas maka dampak kehancuran akan dirasakan oleh rakyat dalam jangka panjang.
Penulis : Alumnus Doktor UNPAD,Pemerhati Masalah Pemerintahan Daerah,Dosen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar